1. Etimologi
Nama Jakarta digunakan sejak masa pendudukan Jepang
tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan
dari kata Jayakarta, yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah
pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda
Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai
"kota kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya
artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau
usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama
digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553)
menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam
(Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca
ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian
pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah
Banten (pupuh 45 dan 47) sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan
Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van
Jacatra (raja Jakarta)
2. Sunda Kelapa (397-1527)
Pelabuhan Sunda Kalapa sekitar pertengahan Abad
ke-20
Pelabuhan Kalapa telah dikenal semenjak abad ke-12
dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Pajajaran. Kemudian pada masa
masuknya Islam dan para penjajah Eropa, Kalapa diperebutkan antara
kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya
cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama
pelabuhan Kalapa dan daerah sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama
kuno Kalapa kembali digunakan sebagai nama resmi pelabuhan tua ini dalam bentuk
"Sunda Kelapa".
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para
penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis
berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan
Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih
lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis,
mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512
dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi
pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi
Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak
diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta
buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa
terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah
sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat
muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau.
Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing
memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh
orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal
dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal
Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton
harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang
komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang
muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque
yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan
raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa untuk melawan
orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu kerajaan Demak sudah
menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang Muslim ini pada awalnya
adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa keturunan Arab.
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu
perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran
dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa
akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada
orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah
batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao
dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda
Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut
Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di
Jakarta.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan
Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya.
Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota
ini.
3. Jayakarta (1527-1619)
Keadaan di pantai Jayakarta
Setelah Kerajaan Demak menugaskan Fatahillah untuk
mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan merebutnya dari Kerajaan Pajajaran. Maka
pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan
Fatahillah (Faletehan) berhasil merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni
inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak
saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya
diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya
artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau
usaha" dari bahasa Sanskerta, jayakṛt.
Sejak kemenangan itu, Fatahillah dijadikan penguasa
Jayakarta yang berkedudukan sebagai adipati atau raja yang berada di bawah
naungan Kerajaan Demak, dan langsung di bawah pengawasan Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunungjati di Cirebon. Pada saat Adipati Jayakarta ini wafat pada
tahun 1570, Pemerintahan Jayakarta diserahkan kepada Tubagus Angke dan kemudian
kepada Pangeran Jayakarta Wijayakrama.
Pada masa pemerintahan Tubagus Angke yang juga
menjadi menantu Maulana Hasanuddin penguasa Banten. Bandar Jayakarta mulai
didatangi orang-orang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada
tanggal 13 November 1596. Pada saat itu, raja Jayakarta usianya sudah tua dan
kemudian diganti putranya, Pangeran Jayakarta Wijayakrama yang kemudian
melakukan perjanjian dagang dengan pihak VOC (Vereninging Oost Indische
Compagnie) yang diwakili oleh Jacquas I’Hermit di bawah Gubernur Jenderal
Pieter Both pada tahun 1610.
Sejak abad ke-16, seluruh kota-kota kerajaan di
pesisir berada di tangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada abad tersebut, para
pedagang dari Eropa, Timur Tengah, Arabia, India, Asia Tenggara, Cina dan
lain-lain makin ramai berkunjung ke Kota Jayakarta. Tentang Kota Jayakarta
sendiri, seperti terlihat dan peta sketsa hasil rekonstruksi Dr. JW Ijzerman
(1917) dalam karangan mengenai penyerbuan Benteng Jacatra yang didasarkan pada
sumber-sumber Portugis dan VOC, terbentang dari utara ke selatan di mana
terdapat kedua anak Sungai Ciliwung yang melintang dan di sebelah barat juga
terdapat anak sungai, sedang di bagian timur mengalir Sungai Ciliwung yang
besar. Pusat kota ditandai dengan adanya alun-alun, di sebelah selatan dari
alun-alun itu terdapat keraton (dalem). Di sebelah barat alun-alun terdapat
mesjid, dan di sebelah utara terdapat pasar. Tata kota dengan sistem penempatan
bangunan-bangunan seperti Kota Jayakarta itu pada dasarnya tidak berbeda dengan
tatakota lainnya di pesisir utara Jawa pasa masa pertumbuhan dan perkebangan
Islam seperti Banten, Cirebon, Demak dan lain-lain. Menurut informasi
orang-orang Belanda yang datang pertama kali ke Teluk Jayakarta di bawah
Cornelis de Houtman dengan kapal Hollandia (tanggal 13-16 November 1596), kota
tersebut dikelilingi pagar kayu. Ini dimungkinkan masih dalam pemerintahan
Tubagus Angke, karena berdasarkan berita abad ke-17, pada masa pemerintahan
Pangeran Jayakarta Wijayakrama, pagar kota telah diganti dengan pagar tembok.
Dan jika diperhatikan dan peta hasil rekonstruksi
Ijzerman, kota Jayakarta terlihat dikelilingi Sungai Ciliwung dan anak-anak
sungainya. Dengan demikian, Sungai Ciliwung dengan anak-anak sungainya
berfungsi pula sebagai benteng kota. Di sebelah timur dari alun-alun terdapat
wilayah Kiai Arya, seorang patih Pangeran Wijayakrama. Di sebelah utara, bagian
barat pinggir muara Ciliwung terletak loji Inggris dan di bagian utaranya lagi
terletak pabean (Paep Jan's Batterij). Di bagian timur Sungai Ciliwung kelak
menjadi bagian tertua Kota Batavia. Di sebelah utara terletak rumah Cina
Watting. Dari tempat ini ke bagian utara muara Ciliwung seberang timur terletak
benteng Nassau dan Mauritius. Menurut Ijzerman, letak kota pusat dari pantai
lebih kurang 300 m. Kampung Angke yang tidak dapat dipisahkan dari nama Tubagus
Angke mungkin sejak abad ke-16 akhir sudah ada. Nama kampung dengan Tubagus
Angke telah dicantumkan pula dalam babad Antara lain Babad Banten dan Purwaka
Caruban Nagari.
4. Batavia (1619-1942)
Peta kota Batavia
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC
pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC
daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor
pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian
juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun
satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang.
Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektare di dekat muara di tepi bagian
timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat
tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur
Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang
dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana
ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok
setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini
benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk
menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang
Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan
keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan
separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin
menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di
Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang
orang Batavia.
Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya
“Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” menjadi
semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang berarti “Jangan
putus asa”.
Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota
Batavia) dibentuk. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian
depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit,
pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas
3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya
terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong
oleh banyak parit.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan
1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai
wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai
dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang
pribumi yang bebas.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah
kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian
Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng
dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit
Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang
menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak
mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari
Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian
berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal
dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat
ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak
tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti
masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada
zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka
di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan,
Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di
Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan
ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818,
Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia
dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester
Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini
menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara.
Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi
menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya..
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi
Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad
Gemeente Batavia.
Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama
Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati
penduduk pada Perang Dunia II.