Running Text

Translate

Kamis, 12 Februari 2015

Asal-Usul Kota Jakarta

1. Etimologi
Nama Jakarta digunakan sejak masa pendudukan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta, yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten (pupuh 45 dan 47) sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta)
2. Sunda Kelapa (397-1527)
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/d/d1/Pelabuhan_Haven_Batavia_Tempo_Doeloe.jpg/220px-Pelabuhan_Haven_Batavia_Tempo_Doeloe.jpg
Pelabuhan Sunda Kalapa sekitar pertengahan Abad ke-20
Pelabuhan Kalapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjajah Eropa, Kalapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama pelabuhan Kalapa dan daerah sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama kuno Kalapa kembali digunakan sebagai nama resmi pelabuhan tua ini dalam bentuk "Sunda Kelapa".
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu kerajaan Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang Muslim ini pada awalnya adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa keturunan Arab.
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota ini.
3. Jayakarta (1527-1619)
Description: https://hms27010yeyen.files.wordpress.com/2012/02/batavia2.jpg
Keadaan di pantai Jayakarta
Setelah Kerajaan Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan merebutnya dari Kerajaan Pajajaran. Maka pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) berhasil merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sanskerta, jayakṛt.
Sejak kemenangan itu, Fatahillah dijadikan penguasa Jayakarta yang berkedudukan sebagai adipati atau raja yang berada di bawah naungan Kerajaan Demak, dan langsung di bawah pengawasan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati di Cirebon. Pada saat Adipati Jayakarta ini wafat pada tahun 1570, Pemerintahan Jayakarta diserahkan kepada Tubagus Angke dan kemudian kepada Pangeran Jayakarta Wijayakrama.
Pada masa pemerintahan Tubagus Angke yang juga menjadi menantu Maulana Hasanuddin penguasa Banten. Bandar Jayakarta mulai didatangi orang-orang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tanggal 13 November 1596. Pada saat itu, raja Jayakarta usianya sudah tua dan kemudian diganti putranya, Pangeran Jayakarta Wijayakrama yang kemudian melakukan perjanjian dagang dengan pihak VOC (Vereninging Oost Indische Compagnie) yang diwakili oleh Jacquas I’Hermit di bawah Gubernur Jenderal Pieter Both pada tahun 1610.
Sejak abad ke-16, seluruh kota-kota kerajaan di pesisir berada di tangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada abad tersebut, para pedagang dari Eropa, Timur Tengah, Arabia, India, Asia Tenggara, Cina dan lain-lain makin ramai berkunjung ke Kota Jayakarta. Tentang Kota Jayakarta sendiri, seperti terlihat dan peta sketsa hasil rekonstruksi Dr. JW Ijzerman (1917) dalam karangan mengenai penyerbuan Benteng Jacatra yang didasarkan pada sumber-sumber Portugis dan VOC, terbentang dari utara ke selatan di mana terdapat kedua anak Sungai Ciliwung yang melintang dan di sebelah barat juga terdapat anak sungai, sedang di bagian timur mengalir Sungai Ciliwung yang besar. Pusat kota ditandai dengan adanya alun-alun, di sebelah selatan dari alun-alun itu terdapat keraton (dalem). Di sebelah barat alun-alun terdapat mesjid, dan di sebelah utara terdapat pasar. Tata kota dengan sistem penempatan bangunan-bangunan seperti Kota Jayakarta itu pada dasarnya tidak berbeda dengan tatakota lainnya di pesisir utara Jawa pasa masa pertumbuhan dan perkebangan Islam seperti Banten, Cirebon, Demak dan lain-lain. Menurut informasi orang-orang Belanda yang datang pertama kali ke Teluk Jayakarta di bawah Cornelis de Houtman dengan kapal Hollandia (tanggal 13-16 November 1596), kota tersebut dikelilingi pagar kayu. Ini dimungkinkan masih dalam pemerintahan Tubagus Angke, karena berdasarkan berita abad ke-17, pada masa pemerintahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama, pagar kota telah diganti dengan pagar tembok.
Dan jika diperhatikan dan peta hasil rekonstruksi Ijzerman, kota Jayakarta terlihat dikelilingi Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya. Dengan demikian, Sungai Ciliwung dengan anak-anak sungainya berfungsi pula sebagai benteng kota. Di sebelah timur dari alun-alun terdapat wilayah Kiai Arya, seorang patih Pangeran Wijayakrama. Di sebelah utara, bagian barat pinggir muara Ciliwung terletak loji Inggris dan di bagian utaranya lagi terletak pabean (Paep Jan's Batterij). Di bagian timur Sungai Ciliwung kelak menjadi bagian tertua Kota Batavia. Di sebelah utara terletak rumah Cina Watting. Dari tempat ini ke bagian utara muara Ciliwung seberang timur terletak benteng Nassau dan Mauritius. Menurut Ijzerman, letak kota pusat dari pantai lebih kurang 300 m. Kampung Angke yang tidak dapat dipisahkan dari nama Tubagus Angke mungkin sejak abad ke-16 akhir sudah ada. Nama kampung dengan Tubagus Angke telah dicantumkan pula dalam babad Antara lain Babad Banten dan Purwaka Caruban Nagari.
4. Batavia (1619-1942)
Peta kota Batavia
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektare di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang orang Batavia.
Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” menjadi semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa”.
Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya..
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia.

Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cuaca


web stats